Sepuluh ciri insan bertaqwa, apakah kita memilikinya?

(Disadur dari uraian ceramah K.H. Athian Ali M. Da`i, MA)

Dan segeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-Mu dan mendapatkan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik pada waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebajikan (muhsinin).”

(Q.S. Ali Imran:133-134)

Hadaf Asasi” (tujuan utama) dalam suatu ayat yang populer dan selalu didengungkan tatkala di bulan Ramadhan, yakni tentang diwajibkannya shaum agar seseorang mencapai derajat muttaqien. Oleh karena itu, dengan mengetahui kriterian insane muttaqien, seseorang dapat mengukur apakah dirinya sudah shaum dan sudah pantas meraih predikat insan termulia di sisi Allah SWT (Q.S. Al Hujuraat:13).

Paling tidak, ada “sepuluh kriteria insan muttaqien.

Pertama: keimanan pada Allah SWT yang merupakan dasar keselamatan hidup seseorang, yang diumpamakan seperti akar dari sebuah pohon (Q.S. Ibrahim 14; 24:26).

Kedua:  mereka yang senantiasa melaksanakan pokok-pokok ibadah dalam kaitan hablumminallah, terutama ibadah shalat (Q.S. Al Baqarah 2; 3).

Ketiga: mereka yang bersegera mencari ampunan Allah bila tergelincir dalam perbuatan dosa (Q.S. Ali Imran 3; 133).

Keempat: mereka yang senantiaasa menginfakkan hartanya pada saat lapang (kaya) maupun pada saat sempit (miskin) (Q.S. Ali Imran 3:134). Ia selalu berpegang kepada prinsip bahwa, ‘tangan yang di atas lebih mulia di sisi Allah dibandingkan dengan tangan di bawah (H.R. Ahmad dan Thabrani).

Ada sebuah hadist Qudsi yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui posisi seseorang dalam hal beramal. Dalam hadist tersebut Allah SWT menyatakan, “Aku mencintai ‘tiga’ perkara, namun cintaku pada ‘tiga’ perkara lain lebih kuat. Aku mencintai orang kaya yang dermawan, tapi kalau ada orang miskin yang dermawan Aku lebih mencintainya. Aku mencintai orang miskin yang rendah hati, tapi kalau ada orang kaya yang rendah hati, Aku lebih mencintainya. Aku mencintai orang tua yang taat beribadah, tapi kalau ada anak muda taat beribadah Aku lebih mencintainya.”

Sebaliknya,  Allah SWT juga berfirman, “Aku membenci ‘tiga’ perkara, namun ada ‘tiga’ perkara lain yang Aku lebih membencinya. Aku membenci orang miskin yang kikir, tapi kalau ada orang kaya yang kikir Aku lebih membencinya. Aku membenci orang kaya yang sombong, tapi kalau ada orang misikin yang sombong, Aku lebih membencinya. Aku membenci anak muda yang suka berbuat maksiat, tapi kalau ada orang tua yang masih suka berbuat maksiat, Aku lebih membencinya”. Orang-orang yang ingin mencapai derajat insan muttaqien tentu saja akan selalu berusaha untuk masuk ke dalam kelompok yang lebih dicintai-Nya.

Kelima: mereka yang mampu mengendalikan amarahnya (Q.S. Ali Imran 3; 134). Bila amarah sedang melanda diri seseorang, maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meredakannya. Pertama, istighfar. Jika dengan istighfar belum teratasi, kedua, seperti yang disebutkan dalam hadist, cobalah ubah posisi tubuhnya. Kalau sedang marah dalam keadaan berdiri, cobalah untuk duduk. Jika sedang marah dalam keadaan duduk, cobalah untuk berbaring. Bila langkah kedua juga belum bisa meradakan amarahnya, maka langkah ketiga, cobalah berwudhu. Dan, langkah keempatnya, adalah shalat. Jika belum masuk waktu shalat fardhu, maka dapat melakukan shalat-shalat sunnah asalkan tidak pada waktu-waktu yang diharamkan.

Keenam: mereka yang mau dengan lapang dada memaafkan kesalahan orang lain, baik diminta maupun tidak diminta, dan tidak menaruh perasaan dendam (Q.S. Ali Imran 3; 134). Hanya perlu diingat jangan sampai pemberian maaf tersebut justru menjadi tidak mendidik, membuat orang malah menganggap ringan sebuah kesalahan, sebab ia tahu setiap kesalahannya akan dimaafkannya. Memaafkan sepatutnya hanya kepada orang-orang yang benar-benar menyadari, mengakui dan menyesali kesalahannya.

Ketujuh:  mereka yang tergolong muhsinin, pada akhir surat Ali Imran ayat 134, Allah SWT menyatakan “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang muhsinin”. Kata, Muhsin, Hasan,  atau  Ihsan berarti baik. Hanya, ketika Rasul ditanya oleh malaikat Jibril, “Apa yang dimaksud dengan Al Ihsan?” Rasulullah menjawab “Engkau mengabdi pada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihatmu”.

Prinsip hidup seperti inilah yang akan melahirkan pribadi yang baik dan jujur. Sebab ia akan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Setiap melakukan sesuatu, ia yakin Allah SWT pasti melihat. Seseorang yang telah memiliki keyakinan tersebut, kapan pun dan dimana pun selalu menghindari dari berbuat maksiat. Dengan prinsip ihsan inilah Rasulullah SAW membina umat pada zamannya, sehingga melahirkan sahabat yang muhsinun.

Kedelapan: mereka yang senantiasa berusaha menepati janjinya, seperti yang tersirat dan tersurat dalam surat Ali Imran ayat 76. Memenuhi janji apabila berjanji, baik itu janji langsung antar dia dengan allah, maupun janji dia kepada Allah lewat orang lain, sebab janji seseorang terhadap orang lain pada hakikatnya adalah janji dia kepada Allah SWT. Janji seseorang langsung antar seseorang dengan Allah dikenala dengan istilah Nadzar. Nadzar memilki arti bahwa sebuah keinginan untuk betul-betul melaksanakan ibadah tanpa dikaitkan dengan keinginan yang lain, seperti yang biasa kita temukan dalam kehidupan masyarakat.

Bila seseorang berjanji pada orang lain, itu artinya berjanji pada Allah SWT melalui manusia. Janji seperti ini justru lebih berat, seperti halnya dosa “fahisah” jauh lebih berat dibandingkan dengan janji seseorang langsung kepada Allah SWT. Sebab ketika seseorang berjanji dengan orang lain, maka dia tidak hanya berurusan dengan orang tersebut, tapi juga berurusan dengan Allah SWT. Namun yang terjadi kebanyakan orang sangat mudah sekali mengumbar janji.

Dalam sebuah hadists Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang yang tidak memenuhi janjinya, bukan hanya saja tidak termasuk orang-orang muttaqien, tapi juga termasuk salah satu ciri orang munafik”. Dalam hadist tersebut, disebutkan tiga ciri orang munafik, yaitu jika berbicara ia berdusta, jika diberi amanah ia khianat dan jika berjanji dia ingkar.

Kesembilan: mereka yang selalu berjuang menegakkan keadilan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dengan kepada taqwa, dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah maha teliti atas apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al Maidah 5; 8). Dalam ayat ini, keadilan tersebut tidak hanya terhadap orang-orang yang bermasalah, tapi juga terhadap orang yang sangat dibenci sekalipun tetap harus bertindak adil.

Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Adil dan mustahil untuk berbuat zalim. Oleh sebab itu Allah itu selalu adil, maka tidak ada seorang pun mahkluknya yang akan teraniaya dan terzalimi. Setiap hak hamba pasti akan dipenuhi oleh Allah. Tidak akan ada satu zarah pun hak seseorang yang tidak akan dipenuhi. Dengan Maha Adil-Nya juga, satu zarrah kejahatan pun pasti diperhitungkan.

Kesepuluh:  adapun kriteria kesepuluh dari insan muttaqien adalah mereka yang tidak memiliki sedikitpun rasa takut dan dukacita dalam hidupnya.

Wallahua`lam bish-shawab.

One thought on “Sepuluh ciri insan bertaqwa, apakah kita memilikinya?”

Leave a comment